Ekonomi Islam: Penyeimbang Ekonomi Dunia


Oleh : M. Robith Aizzurrohman
KSEI SEDIC UIN Sunan Ampel Surabaya 

Ekonomi merupakan instrumen pernafasan dalam kehidupan bangsa. Jika sistem ekonomi tersebut rusak, buruk ataupun beracun, rusak pula tatanan hidup masyarakat. Bagaikan struktur tubuh yang menjadikan nafas sebagai ruh kehidupan. Jika sistem yang mengatur nafas tersebut rusak atau bahan sumber dari nafas itu—yaitu udara—beracun, maka yang terjadi adalah timbulnya gangguan pada tubuh.
Dalam Islam, segala sesuatunya tak luput dari ajaran nilai-nilai keIslaman itu sendiri. Bahkan, mulai hal yang paling kecil sekalipun seperti tidur, meskipun sekedar perilaku individual. Lebih-lebih jika menyangkut suatu hal yang berperan dalam sosial dan kemaslahatan, seperti sistem ekonomi.
Menurut teori yang dikemukakan oleh Adam Smith, ekonomi merupakan ilmu secara sistematis yang mempelajari tingkah perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas demi mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan menurut teori ekonomi konvensional, manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas di atas sumber daya yang terbatas. Terkesan sangat rakus.
Tujuan tertentu yang dimaksud dari teori Adam bisa jadi berbeda menurut persepsi setiap orang, sebab tiap-tiap kepala memiliki cara pandang yang berbeda. Sementara itu, yang menjadi obyek dari teori yang dikemukakan oleh Adam Smith sangatlah universal. Sebab tidak ada batasan untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan sumber daya yang ada di alam ini memiliki keterbatasan. Manusia tidak memiliki hak penuh untuk megeksploitasi isi dari sumber daya yang tersedia.
Meski secara fitrahnya manusia merupakan representasi Tuhan di muka bumi bukan berarti memiliki kapasitas penuh untuk mengalokasikan seluruh sumber daya yang tersedia. Itu artinya dalam teori yang dikemukakan oleh Adam Smith rasanya masih kurang subyektif untuk menilai perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber daya. Berdasar pada teori Adam Smith yang mengemukakan pengalokasian sumber daya yang terbatas untuk suatu tujuan tertentu. Kata ‘tertentu’ menurut masing-masing yang menjalankannya pastinya memiliki persepsi yang berbeda-beda.
Dalam teori ekonomi konvensional seakan menunjukkan bahwa manusia tidak dibatasi untuk mengalokasikan sumber daya agar dimanfaatkan sebaik-baiknya. Selain itu, dalam prinsip ekonomi konvensional, ada hak kepemilikan dan hak tersebut merupakan hak penuh oleh pemiliknya yang bebas difungsikan oleh pemilik tanpa terikat oleh batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang ada di sana cenderung lebih menguntungkan pihak satu dari yang lain.
Namun, semua itu akan berbeda jika dibenturkan dengan teori ekonomi menurut kacamata Islam. Menurut Muhammad Abdullah Al-‘Arabi, ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi dari Al-Qur’an dan Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa. Sedangkan menurut Baqir Ash-Shadr, ekonomi Islam merupakan suatu cara yang dilakukan dalam rangka menempuh cara mencapai ekonominya dan memecahkan masalah ekonomi praktik yang sejalan dengan konsep keadilan.
Dalam kacamata ekonomi Islam, manusia diberi kebebasan untuk mengalokasikan sumber daya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan dan selama tidak merusak tatanan lingkungan alam. Sebab Al-Qur’an sudah menyatakan secara riil agar manusia tidak membuat kerusakan di bumi. Di sisi lain, makhluk hidup di bumi tidak hanya manusia saja. Ada banyak macam makhluk dan spesies lainnya yang diketahui atau yang belum diketahui. Maka dari itu perlu adanya keseimbangan lingkungan yang harus dijaga oleh manusia. Itu lah hakikat mengapa manusia menjadi representasi Tuhan di muka bumi.
Ekonomi Islam secara garis besar memiliki karakteristik yang berbeda jauh dengan ekonomi konvensional, kapital dan sosial. Karakteristik ekonomi Islam dalam kitab Daur al-qiyam wa al-akhlaq karya Syekh Yusuf Al-Qardhawi terbagi mejadi empat bagian, ekonomi ilahiyah, ekonomi akhlak, ekonomi kemanusiaan dan ekonomi pertengahan. Ekonomi ilahiyah menurut beliau adalah ekonomi yang segala aspek perbuatannya lillahi ta’ala. Lalu, ekonomi akhlak yang membedakan dengan sistem ekonomi konvensional, di mana ekonomi Islam menitikberatkan pada aspek ‘adalah (keadilan). Kemudian disusul dengan ekonomi kemanusiaan yang menjadikan manusia sasaran dan sarana utama agama Islam dalam merealisassikan kehidupan yang baik dan sejahtera. Dan yang terakhir dari keempat karakteristik ekonomi Islam adalah ekonomi pertengahan atau disebut juga sebagai ekonomi keadilan. Pertengahan juga makna lain dari keadilan yang mana keadilan merupakan roh dalam ekonomi Islam maupun dalam ajaran Islam secara umum. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 143 :”dan demikian (pula) kami jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan Rasul menjadi saksi atas (perbuatanmu)”. Umat Islam dijadikan sebagai umat yang adil dan pilihan, karena akan dijadikan saksi atas perbuatan yang menyimpang di dunia.
Dalam aspek ekonomi Islam, prinsip yang dikedepankan adalah keadilan bukan kesamarataan seperti yang diterapkan dalam sistem ekonomi sosial. Prinsip-prinsip tersebut yang pada akhirnya menumbuhkan nilai-nilai keIslaman dalam sendi-sendi kehidupan manusia yang berdampak positif untuk keberlangsungan dan keseimbangan kehidupan. Secara garis besar prinsip-prinsip ekonomi Islam sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Mardani dalam bukunya Hukum Sistem Ekonomi Islam, antara lain:
Pertama, dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien mungkin guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan orang lain.
Kedua, Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah terlebih usaha yang menghancurkan masyarakat.
Ketiga, kekuatan utama penggerak ekonomi Islam adalah kerja sama seorang Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, pemberi upah atau sebagainya harus berpegang teguh pada tuntunan Allah SWT.
Keempat, kepemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produksi yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja.
Kelima, Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaanya direncanakan untuk kepentingan orang banyak.
Keenam, orang Muslim harus beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi atau penindasan.
Ketujuh, seorang Muslim yang kekayaannya mencapai atau melebihi batas tertentu (nishab) wajib membayar zakat. Zakat merupakan instrumen distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Kedelapan, Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) secara mutlak atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman tersebut berasal dari rekan, perusahaan, perorangan, pemerintah maupun individual lain.
Dari beberapa prinsip di atas, terlihat bahwa ekonomi Islam memiliki titik berat yang condong pada keadilan sosial. Namun bukan berarti menyampingkan hak-hak orang lain atau pun membatasi dalam batasan yang mengekang. Namun dalam rangka menggulirkannya pada fungsi kemaslahatan secara kolektif.

Bagaimana? Jelas bukan? Tidak ada prinsip-prinsip yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan ataupun sosial. Pada intinya, ekonomi Islam menekankan pada keadilan kepada pemeluknya supaya terbentuk suatu kesejahteraan di antara masyarakatnya. Hal ini tentu berdasar pada para pelakunya, apakah mampu untuk berkontribusi dalam membangun kesejahteraan secara kolektif dan membentuk keadilan. Maka dengan adanya keseimbangan tersebut terciptalah keadilan yang menjadi cita-cita utama Islam.

1 comment: