Pluralitas Ekonomi dan Small Area


Oleh : Achmad Afif Hajid Nasrullah

Kalau kita belajar sejarah pemikiran ekonomi, terutama yang dimulai pada abad setelah 17 M, awal dari pemikiran ekonomi yang berkembang adalah merkantilisme. Orientasi dalam mengumpulkan harta emas sebanyak-banyaknya terakomodasi pada era itu. Lantas bergulir setelahnya bumbu pelengkap merkantilisme, yakni feodalisme. Elan para feodalis pun terangkat seiring dengan maraknya isme fasis yang digemakan oleh Adolf Hitler dan Benito Musollini yang konon masing-masing berkebangsaan Jerman dan Italia. Keserakahan jelas nampak pada masa-masa itu. Ujungnya adalah ketidakadilan yang terejawantah, dimana proses di dalamnya diwarnai dengan peperangan yang terjadi antar negara di dunia. Masyarakat pun terdampak. Ketimpangan sosial dan ekonomi pun tidak terelakkan.

Seiring berjalannya peradilan mahkamah histori, paham-paham di atas tersebut pudar pada waktunya dan perlahan naik daunlah pemikiran ekonomi klasik. Adam Smith dengan magnum opusnya “The Wealth of Nations” yang positif terinfluence dari kitab karya Abu Yusuf “Al-Amwal” membalik peta pemikiran ekonomi dunia menjadi lebih dinamis. Disinyalir oleh kebanyakan orang, berasal dari “The Wealth if Nations”-lah embrio kapitalisme (yang menghegemoni lewat mekanisme pasar bebasnya) lahir di peradaban bumi manusia (bahasa jawanya manusia, manungsa, dan menurut sebagian pendapat berasal dari suku kata manunggaling = kebersatuan, dan rasa=rasa).

Unsur Etis Ekonomi

Padahal, klaim dari bukti sejarah yang tak terkespos secara masif menyebutkan, sebelum “The Wealth of Nations” terbit, Adam Smith menulis mula-mula buku yang membahas perihal etika dalam ekonomi. Hanya eksemplar tersebut kurang beroleh perhatian sebab aspek etika yang tertera di dalamnya dipengaruhi oleh paham gereja (kristiani), dan kala itu antara pihak gereja dan ilmuwan tengah terjerumus pada lingkaran konflik yang kerap membawa petaka pada sebagian besar umat.

Dialektisasi para tokoh, tak hanya ekonomi, kala itu tentang epistemologi, etika, filsafat, dan keilmuan lantas memunculkan mazhab baru dalam pemikiran ekonomi, yakni neo-klasik. Ketidakpuasan beberapa orang akan kekurangan-kekurangan yang dirasakan dari mazhab neo-klasik kemudian memunculkan paham keynesian (J.M. Keynes sebagai pemikir utamanya) dan lain-lain (Austria, Cambridge). Dalam pada itu, pula lahir gagasan pemikiran ekonomi sebagai antitesis dari kapitalisme yang dituduh oleh kaum sosialis sebaga bromocorah keterpurukan kelas sosial bawah (kaum buruh). Digawangi oleh Karl Marx, gerakan ini diistilahkan dengan sebutan sosialisme/marxisme. Namun cita-cita dari sosialisme itu kalah populer dan dituding utopis semata oleh kaum kapitalis (meski beberapa negara sebut saja Uni Soviet dan Cina sempat menerapkannya, namun kenyataannya tak bertaha lama. Kini tinggal Korea Utara yang menerapkan sistem tersebut, kita lihat saja nanti seberapa lama kondisi demikian dapat bertahan). Sehingga sampai pada hari ini, paham kapitalisme-lah yang cenderung lebih digandrungi oleh kebanyakan warga dunia.

Multi-Perspektif Ekonomi (dan Islam)

Ekonomi Islam marak diperbincangkan lagi saat menyentuh medio 60-70an di Timur Tengah. Merembet kemudian ke daratan Asia, termasuk Indonesia. Momentum keterlembagaannya ekonomi Islam adalah ketika Bank Muamalat terbentuk pada 90an, tepatnya di tahun 1992. Hingga 2014 kini ekonomi Islam masih eksis dan berjuang di tengah pusaran arus kapitalisme dunia.
Melihat situasi Indonesia yang kini tengah terombang-ambing dalam masalah-masalah perekonomian, beberapa orang maupun kelompok masing-masing saling menawarkan solusi demi perbaikan Indonesia. Kesejahteraan diklaim akan mewujud dengan syarat mesti mengikuti apa yang oleh masing-masing pihak tersebut berikan. Maka sekarang ini, di Indonesia, secara garis besar ada kelompok-kelompok pengusung pemikiran (maupun sistem) ekonomi yang terbagi menjadi 4 macam yakni: kelompok mainstream pendukung kapitalisme (liberalisme, globalisme, dan segala macam turunannya); kelompok pendukung ekonomi kerakyatan atau Pancasila; kelompok pendukung ekonomi Islam; serta segeli

0 komentar:

CSR dalam Islam



Corporate Social Responsibility dalam Bisnis Islam
 by : Rina Susanti (Bendahara FoSSEIJATIM)

Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggungjawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.  Hal ini didukung pendapat The International Organization of Employers (IOE) yang mendefinisikan CSR sebagai indikator perusahaan yang bersifat sukarela dan melampaui kewajiban hukum terhadap peraturan perundang–undangan negara. The World Bussiness Counsil for Sustainable Development mengatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya (Kalangit dalam Siswoyo, 2012). Adanya konsep CSR ini merubah wajah dunia bisnis yang awalnya hanya bersifat profit-oriented menjadai suatu lembaga yang memiliki etika dan tanggungjawab terhadap sosial dan lingkungan. 

more »

2 komentar: