Reminder Iuran KSEI

Berdasarkan:

Anggaran Rumah Tangga 
Forum Silaturrahim Studi Ekonomi Islam

Pasal 5
Kewajiban Anggota
Setiap anggota FoSSEI berkewajiban:
1.       Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik FoSSEI
2.       Mendukung tercapainya visi, misi dan tujuan FoSSEI
3.       Melaksanakan aturan dan keputusan yang ada di dalam FoSSEI
4.       Mencantumkan logo FoSSEI di setiap kegiatan.
5.       Membayar iuran tahunan

Maka,



Info Lebih Lanjut:
Presidium Nasional 3 : 08573291880 (Alfian)
Bendahara Nasional   : 085728782828 (Maftuh)

Untuk Mengunduh Surat dalam bentuk PDF, klik disini
Apabila masih bingung dengan terkait iuran FoSSEI, mohon untuk sms ke Bendahara FoSSEI Regional Jawa Timur 085749706642 (Inna)

0 komentar:

Menyelami Pendapat Hari Ibu


Allah Ta’ala berfirman

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).

Perintah berbakti di sini bukan hanya berlaku pada bulan Desember saja, namun setiap waktu.

Suatu budaya asing dan bersifat global memang terkadang membawa isu positif atau malah negative. Seperti halnya perayaan hari besar, atau ucapan. Pada dasarnya memang ada hal-hal yang tidak dapat ditoleransi oleh agama Islam. Ada juga yang muncul pro-kontra dalam hal ini. Dari beberapa sumber di internet mengatakan bahwa sebab larangan memperingati hari ibu bagi Muslim adalah haram. Mereka memiliki dasar sebagai berikut:

1- Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir

Peringatan hari ibu bukanlah perayaan umat Islam. Islam tidak pernah mengajarkannya sama sekali. Yang ada, perayaan tersebut diperingati hanya meniru-niru orang kafir. Islam hanya memiliki dua hari besar. Anas bin Malik mengatakan,

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa’i no. 1557. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.“(HR. Abu Daud no. 4031. Hadits ini hasan shahih kata Syaikh Al Albani).

Ada hadits juga dalam kitab Sunan,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلاَ بِالنَّصَارَى
“Bukan termasuk golongan kami yaitu siapa saja yang menyerupai (meniru-niru) kelakukan selain kami. Janganlah kalian meniru-niru Yahudi, begitu pula Nashrani.” (HR. Tirmidzi no. 2695, hasan menurut Syaikh Al Albani).

2- Tidak pernah dituntunkan dalam ajaran Islam

Perayaan tersebut adalah perayaan yang mengada-ngada, tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Cukuplah mereka sebagai sebaik baik petunjuk.

3- Fatwa Ulama Saudi
Hari ibu biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, berikut fatwa Al-Lajnah Ad- Daimah (semacam MUI di Saudi) mengenai hal ini. Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “kapan tanggal yang tepat untuk memperingati hari ibu?”

Mereka menjawab:
“Tidak boleh mengadakan peringatan yang dinamakan dengan peringatan hari ibu, dan tidak boleh juga memperingati perayaan peringatan tahunan yang dibuat-buat (tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan As-sunnah, karena perayaan (ied) tahunan yang diperbolehkan dalam Islam hanya Idul Fitri dan Idul Adha.

Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam bersabda,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan itu tertolak”

Adapun pendapat yang memperbolehkan ucapan hari ibu adalah sebagai berikut:
Syeikh DR. Yusuf Qaradawi dan DR. Muhammad al-Banna berpendapat: Tidak ada larangan untuk menyambut Hari Ibu, tetapi dengan beberapa syarat: 

1. Sambutan itu hanyalah "penghormatan tambahan" yg sudah dilakukan sehari-hari yg diberikan untuk ibu. 

2. Sambutan itu tidaklah dianggap sebagai suatu perayaan dalam arti menyamai Idul Fitri dan Idul Adha, yg ada dasarnya yg jelas dalam Syari'ah. 

3. Tidak berlaku di dalamnya perkara-perkara yg diharamkan oleh Syari'ah seperti pergaulan bebas diantara lelaki dan perempuan. 

4. Tidak dimaksudkan untuk menyerupai orang-orang yg bukan Islam. 

5. Hendaklah kandungan perayaan itu diteruskan sepanjang tahun dan tidak terbatas pada hari tersebut saja. 

DR. Muhammad Bakar Ismail, Professor Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Quran di Universitas Al-Azhar, memberikan pandangan: 

"Hari ini, dimana ibu dimuliakan dan dinamakan dengan Hari Ibu adalah bid’ah dalam perkara adat dan bukan dalam perkara ibadah. Bid’ah dalam adat tidak diperintah oleh Islam dan tidak juga dilarang, kecuali ia menghubungkan dgn suatu agama. Jika adat ini lahir untuk menyeru kepada berlaku baik dan ihsan kepada orang yg berhak mendapat kebaikan seperti kepada ibu, bapak, kakek dan nenek, maka Islam membolehkan dan mengakui adat seperti ini. Jika adat ini lahir dari perkara yg sebaliknya, dan melakukannya juga melibatkan perkara2 yg buruk dan dilarang oleh Islam seperti pemborosan, kelalaian, berbangga2, bercampurnya laki dan wanita yg bukan mahram, maka Islam melarangnya".

DR. ‘Abdul Fattah Asyur, seorang lagi ulama’ Al-Azhar, memberikan pendapat: 

"Merayakan beberapa hari yg padanya dimuliakan manusia atau menghidupkan ingatan2 yg baik, maka tidak seorang pun mengatakan bahwa ini adalah perayaan agama atau sebagian dari perayaan2 Muslimin. Tetapi ia adalah peluang untuk menunjukkan syi'ar perasaan yg baik terhadap orang2 yg berbudi kepada kita dan diantaranya ialah apa yg dikenal sebagai Hari Ibu. Sesungguhnya bagi ibu kedudukan yg khusus dalam Islam dan juga dalam setiap agama lain. Maka ibu wajib dimuliakan dan dirayakan".

Pada setiap negara, peringatan hari ibu berbeda-beda, di Indonesia diperingati setiap tanggal 22 Desember. Anda dapat membaca dari banyak literatur sejarah penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Ibu. 

Bagi seseorang yang ingin menjaga agama dan kehormatan maka hendaknya menghindari untuk mengucapkan selamat hari ibu. Hal ini karena termasuk dalam perkara yang syubhat. Dimana sebenarnya yang halal sudah jelas sedangkan yang haram telah jelas pula. Berikut adalah hadistnya:

An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)

Ketika seseorang menjalankan hadist ini terkadang menjadi masalah bagi dirinya sendiri. Tentu perlu diketahui juga budaya masyaraka sekitar. Apabila masyarakat sekitarnya memiliki pluralitas yang tinggi hal ini menjadi suatu masalah. Oleh karena itu perlu adanya dakwah yang lebih inklusif dan merangkul sehingga mampu menciptakan masyarakat Islam yang kaffah.

Wallaahu a'lam...



Penulis: Khoirul Zadid Taqwa (Koordinator FoSSEI Jatim 2014-2015)

0 komentar:

Pluralitas Ekonomi dan Small Area


Oleh : Achmad Afif Hajid Nasrullah

Kalau kita belajar sejarah pemikiran ekonomi, terutama yang dimulai pada abad setelah 17 M, awal dari pemikiran ekonomi yang berkembang adalah merkantilisme. Orientasi dalam mengumpulkan harta emas sebanyak-banyaknya terakomodasi pada era itu. Lantas bergulir setelahnya bumbu pelengkap merkantilisme, yakni feodalisme. Elan para feodalis pun terangkat seiring dengan maraknya isme fasis yang digemakan oleh Adolf Hitler dan Benito Musollini yang konon masing-masing berkebangsaan Jerman dan Italia. Keserakahan jelas nampak pada masa-masa itu. Ujungnya adalah ketidakadilan yang terejawantah, dimana proses di dalamnya diwarnai dengan peperangan yang terjadi antar negara di dunia. Masyarakat pun terdampak. Ketimpangan sosial dan ekonomi pun tidak terelakkan.

Seiring berjalannya peradilan mahkamah histori, paham-paham di atas tersebut pudar pada waktunya dan perlahan naik daunlah pemikiran ekonomi klasik. Adam Smith dengan magnum opusnya “The Wealth of Nations” yang positif terinfluence dari kitab karya Abu Yusuf “Al-Amwal” membalik peta pemikiran ekonomi dunia menjadi lebih dinamis. Disinyalir oleh kebanyakan orang, berasal dari “The Wealth if Nations”-lah embrio kapitalisme (yang menghegemoni lewat mekanisme pasar bebasnya) lahir di peradaban bumi manusia (bahasa jawanya manusia, manungsa, dan menurut sebagian pendapat berasal dari suku kata manunggaling = kebersatuan, dan rasa=rasa).

Unsur Etis Ekonomi

Padahal, klaim dari bukti sejarah yang tak terkespos secara masif menyebutkan, sebelum “The Wealth of Nations” terbit, Adam Smith menulis mula-mula buku yang membahas perihal etika dalam ekonomi. Hanya eksemplar tersebut kurang beroleh perhatian sebab aspek etika yang tertera di dalamnya dipengaruhi oleh paham gereja (kristiani), dan kala itu antara pihak gereja dan ilmuwan tengah terjerumus pada lingkaran konflik yang kerap membawa petaka pada sebagian besar umat.

Dialektisasi para tokoh, tak hanya ekonomi, kala itu tentang epistemologi, etika, filsafat, dan keilmuan lantas memunculkan mazhab baru dalam pemikiran ekonomi, yakni neo-klasik. Ketidakpuasan beberapa orang akan kekurangan-kekurangan yang dirasakan dari mazhab neo-klasik kemudian memunculkan paham keynesian (J.M. Keynes sebagai pemikir utamanya) dan lain-lain (Austria, Cambridge). Dalam pada itu, pula lahir gagasan pemikiran ekonomi sebagai antitesis dari kapitalisme yang dituduh oleh kaum sosialis sebaga bromocorah keterpurukan kelas sosial bawah (kaum buruh). Digawangi oleh Karl Marx, gerakan ini diistilahkan dengan sebutan sosialisme/marxisme. Namun cita-cita dari sosialisme itu kalah populer dan dituding utopis semata oleh kaum kapitalis (meski beberapa negara sebut saja Uni Soviet dan Cina sempat menerapkannya, namun kenyataannya tak bertaha lama. Kini tinggal Korea Utara yang menerapkan sistem tersebut, kita lihat saja nanti seberapa lama kondisi demikian dapat bertahan). Sehingga sampai pada hari ini, paham kapitalisme-lah yang cenderung lebih digandrungi oleh kebanyakan warga dunia.

Multi-Perspektif Ekonomi (dan Islam)

Ekonomi Islam marak diperbincangkan lagi saat menyentuh medio 60-70an di Timur Tengah. Merembet kemudian ke daratan Asia, termasuk Indonesia. Momentum keterlembagaannya ekonomi Islam adalah ketika Bank Muamalat terbentuk pada 90an, tepatnya di tahun 1992. Hingga 2014 kini ekonomi Islam masih eksis dan berjuang di tengah pusaran arus kapitalisme dunia.
Melihat situasi Indonesia yang kini tengah terombang-ambing dalam masalah-masalah perekonomian, beberapa orang maupun kelompok masing-masing saling menawarkan solusi demi perbaikan Indonesia. Kesejahteraan diklaim akan mewujud dengan syarat mesti mengikuti apa yang oleh masing-masing pihak tersebut berikan. Maka sekarang ini, di Indonesia, secara garis besar ada kelompok-kelompok pengusung pemikiran (maupun sistem) ekonomi yang terbagi menjadi 4 macam yakni: kelompok mainstream pendukung kapitalisme (liberalisme, globalisme, dan segala macam turunannya); kelompok pendukung ekonomi kerakyatan atau Pancasila; kelompok pendukung ekonomi Islam; serta segeli

0 komentar:

CSR dalam Islam



Corporate Social Responsibility dalam Bisnis Islam
 by : Rina Susanti (Bendahara FoSSEIJATIM)

Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggungjawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.  Hal ini didukung pendapat The International Organization of Employers (IOE) yang mendefinisikan CSR sebagai indikator perusahaan yang bersifat sukarela dan melampaui kewajiban hukum terhadap peraturan perundang–undangan negara. The World Bussiness Counsil for Sustainable Development mengatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya (Kalangit dalam Siswoyo, 2012). Adanya konsep CSR ini merubah wajah dunia bisnis yang awalnya hanya bersifat profit-oriented menjadai suatu lembaga yang memiliki etika dan tanggungjawab terhadap sosial dan lingkungan. 

more »

2 komentar: