Sebening Akhlak Ekonom

Oleh : Istikanah (Srikandi FoSSEI JATIM)

           Islam memandang ekonomi sebagai vitalitas dalam sendi kehidupan karena Islam menilai bahwa harta itu merupakan salah satu daripada lima keperluan asas dalam kehidupan. Lima keperluan asas (maqashid syariah) itu ialah: Agama, Jiwa, Akal, Nasab Keturunan dan Harta.
Islam merupakan risalah akhlaqiyah dan tamadun Islam, yang merupakan tamadun akhlaqiyah. Seluruh misi dan risalah Nabi Muhammad s.a.w. mengandungi unsur akhlak. Bahkan baginda telah mendefinisikan risalahnya dalam sabdanya: 
“Sesungguhnya (tujuan) aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak dan budi pekerti yang mulia”
       Kemudian  Allah s.w.t. menegaskan kebenaran sabda tersebut dengan menurunkan ayat al-Quran yang memuji keluhuran budi pekerti Baginda SAW dalam QS Al Mulk :4
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki budi pekerti yang agung.”
Akhlak ibarat cermin, yang memantulkan sisi murni dari sang empunya, cerminan atas kondisi secara utuh. Begitupula akhlak, akhlak yang bening akan mampu merefleksikan paradigma dan kebiasaan seseorang. Seluruh segi kehidupan Islam tidak boleh dipisahkan daripada akhlak dan budi pekerti. Ilmu pengetahuan, politik, peperangan dan ekonomi semuanya berkaitan secara rapat dengan akhlak dan budi pekerti. Ilmu pengetahuan tidak akan memiliki nilai jika tidak disertakan dengan akhlak yang mulia dan budi pekerti yang baik. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW pernah memohon perlindungan Allah daripada ilmu yang tidak bermanfaat yaitu ilmu yang tidak disertai dengan akhlakul karimah.
         Sebagaimana ilmu pengetahuan, politik dan perang tidak boleh dipisahkan daripada akhalk, maka demikian pulalah ekonomi. Jika kita memperhatikan sistem ekonomi positif (sekular), barangkali orientasi dari sistem-sistem tersebut hanya terkait dengan usaha untuk memperoleh kekayaan sabanyak-banyaknya. Bukan terkait dengan orientasi takaful (saling menolong).
           Akhlak merupakan salah satu unsur-unsur yang paling utama dalam ekonomi Islam. Unsur ini begitu penting sehingga tak ayal jika Ekonomi Islam didefinisikan sebagai ekonomi yang berakhlak. Seluruh aspek dalam ekonomi bersatu padu dengan nilai akhlak dan budi pekerti yang baik. Allah tidak membenarkan seseorang untuk memperolehi harta dengan cara yang batil untuk memakmurkan masjid atau rumah-rumah kebajikan. Sebab Allah itu suci dan baik dan Allah hanya menerima perkara-perkara yang suci dan baik pula.
         Nilai moral Islam menghubungkan antara individu dengan masyarakat, dengan menyeimbangkan antara kebebasan individual dan tanggungjawab sosial. Islam mendorong pencapaian tujuan sosial-nya dengan menekan permintaan yang berlebihan terhadap sumber daya yang terbatas. Menjalankan perilaku ekonomi secara bermoral mendorong pasokan altruisme, namun disaat yang sama Islam mengizinkan tujuan self-interested sehingga permintaan altruisme tetap terjaga (Pratikto, 2012).
         Islam memerintahkan kita untuk mengembangkan harta dengan cara yang shar'i, bukan dengan menipu, mengamalkan riba atau merampas harta orang lain dengan cara yang batil. Islam juga memerintahkan kita untuk membelanjakan harta yang kita perolehi dalam perkara-perkara yang benar dan baik sahaja. Sebab harta itu merupakan harta Allah dan ia hanya boleh dibelanjakan sesuai dengan kehendak daa peraturan Allah saja. Ekonomi yang bertumpu kepada akhlak tidak akan mengorbankan nilai-nilai murni demi mencapai keuntungan materi. Sebaliknya ia akan mengorbankan keuntungan materi demi mencapai akhlak dan budi pekerti yang luhur.

0 komentar:

Microfinance Syariah Strategi Mengembangkan Agribisnis di Indonesia



Oleh : Puji Astutik (Sekretaris Umum FoSSEI Reg. Jatim)

Sektor agribisnis merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan namun,  mayoritas pelaku bisnis agribisnis di Indonesia adalah sektor mikro. Untuk mencapai derajat kesejahteraan perekonmian hendaknya bangsa ini mampu mengembangkan potensi sektror agribisnis terlebih sektor mikro untuk memiliki daya saing dengan luar negeri. Tak dapat dipungkiri, sektor usaha kecil merupakan sektor yang sangat potensial dalam mempercepat laju pembangunan nasional. Hal ini terbukti dengan penyerapan tenaga kerja yang mencapai 110.880.154 jiwa di tahun 2012 yang meingkat sebanyak 5,83% dari tahun sebelumnya. Tidak hanya itu sektor usaha kecil, mikro dan menengah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi PDB Indonesia. Kontribusi tersebut meningkat dari tahun 2011-2012 sebesar Rp 2.579.388,40 Milyar menjadi Rp 2.951.120,60 Milyar.  Jika kita lihat dari jumlah unit usaha, menurut data dari Menteri koperasi dan UKM pada tahun 2011 mencapai 54.559.969 unit dan meningkat di tahun 2012 sebanyak 56.534.592 unit. Dari jumlah tersebut, usaha mikro terbesar berasal dari sektor agribisnis.
Tabel 1. Jumlah Unit Usaha Berdasarkan Sektor Ekonomi
Jenis Usaha
2011
2012
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
26.635.044
27.063.839
Pertambangan dan Penggalian
671.440
681.982
Industri Pengolahan
3.588.937
3.689.246
Listrik, Gas dan Air Bersih
423.222
423.304
Konstruksi
897.996
1.022.803
Perdagangan, Hotel dan Restoran
14.800.996
15.596.228
Pengangkutan dan Komunikasi
3.598.647
3.872.942
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
1.382.629
1.444.075
Jasa – jasa
2.561.894
2.740.173
Jumlah
54.560.805
56.534.592
Sumber : Menegkop & UKM, 2013 (www.depkop.go.id)

Menurut Atika (2013) sektor agribisnis tidak hanya meliputi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dalam sisi on farm (budidaya) tetapi juga dari sisi off farm (perindustrian dan perdagangan). Dari tabel tersebut di atas dapat kita kaji, bahwa sektor usaha agribisnis memberikan peran yang cukup besar bagi pengembangan usaha mikro di Indonesia. Menurut Drajad dan Ario (2003) Agribisnis mampu memenuhi prasayarat – prasyarat dalam pemulihan ekonomi Indonesia yaitu pemilihan strategi pembangunan ekonomi yang dapat merangsang produksi domestik pada sektor-sektor terkait, dan memiliki multiplier pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi. Selain itu agribisnis juga berpotensi sebagai engine of growth dalam perekonomian nasional. Mengingat kondisi skala usaha yang terbatas ini, Jenis usaha ini sering beroperasi dalam ruang yang sempit untuk mencapai tujuan mereka. Oleh karena itu, mereka praktis membutuhkan dukungan dan sumber daya dari agen-agen eksternal seperti dari kerabat dan teman-teman, institusi pendukung (bank dan lembaga keuangan lainnya, agen untuk inkubasi usaha kecil, dan peraturan pemerintah), atau perusahaan lain (Urban et al, 2000;. Wattanapruttipaisan, 2002 ; Beaver, 2002; Roxas et al, 2007).
Berkaitan dengan struktur pembiayaan, sektor ini mempunyai permasalahan internal pada kelemahan odal dan kurangnya akses petani terhadap lembaga keuangan. Hal ini disebabkan usaha agribisnis  mikro merupakan jenis usaha yang tidak bankable. Padahal jika dilihat dari kinerja sektor agribisnis itu sendiri mampu memberikan kontribusi yang nyata pada perekonomian. Oleh karenaitu perlu dukungan lembaga keuangan mikro syariah dalam menghadapi sistem permodalannya. Dalam hal ini, microfinance merupakan lembaga keuangan yang sesuai dengan karakter sektor agribisnis. Jika dilihat secara konseptual, micofinance mempunyai dua tujuan utama yang erat kaitannya dengan UKM. Tujuan tersebut adalah untuk tujuan komersial dan pengembangan masyrakat. Sebagai LKM target dari microfinance adalah menurunkan tingkat kemiskinan, memberdayakan wanita dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan, menciptakan lapangan pekerjaan serta mengembangkan usaha nasabahnya yaitu usaha kecil menengah (UKM) (Buchori,2003).
Meskipun demikian, dari sisi pemodal, membiayai sektor agribisnis penuh dengan resiko diantaranya (1) resiko reputasi yang mana sektor ini banyak beroperasi secara informal dengan kemampuan manajerial rendah sehingga di anggap sulit menentukan penentuan dalam evaluasi 5C (character, capacity, collateral, capital, condition ) sebelum pembiayaan. (2) resiko operasi, resiko ini timbul dari karakter UKM yang melahirkan biaya tinggi akibat dari proses screening dan monitoring yang harus dilakukan oleh lembaga pembiayaan.[1] Sehingga kita memerlukan modal sosial sebagai jaminan pembiayaan kolektif untuk memperkecil resiko dan mengembangkan kapasitas sumber daya insani dikalangan sektor tersebut dalam mengakses pembiayaan.  Sedangkan dengan menganalisis faktor internal dan ekternal dari lembaga Keuangan Syariah (LKS), Wulandari (2004) mengemukakan strataegi pengembangan adalah dengan meningkatkan pemahaman umat Islam terhadap ajarannya dan memanfaatkan fatwa MUI tentang haramnya riba, memasukkan sektor agribisnis dalam portofolio kredit secara signifikan yaitu memperbesar pendanaan, menyediakan pola pendanaan yang berbeda berdasarkan subsektor kegiatan (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan) dan memberlakukan sistem pendanaan dengan merediksi jadwal panen serta  memperkuat struktur kelembagaan.
Microfinance syariah merupakan pilihan utama dalam mengembangkan sektor mikro dalam agribisnis ini karena di dalam fungsi microfinance terdapat fungsi sosial dan pembangunan terhadap masyarakat yang lemah. Sehingga dalam hal ini, microfinance  syariah  perlu meningkatkan perannya terhadap sektor agribisnis untuk menembangkannya dari sisi pembiayaan. Karena prinsip utama dalam  ekonomi syariah adalah bagaimana kita mampu menciptakan pemerataan dan bukan sekedar pertmbuhan semata tentunya dengan pinsip ta’awun sesama umat yag bertanggung jwab sesuai etika bisnis Islam yang semestinya.



[1]Faisal,Yudi Ahmad, 2013, Keuangan Syariah dan Industri Kreatif : Eksplorasi Framework Konstruktif dalam Mengakselerasi Industri Perbankan Syariah, Bahan – bahan terpilih dan Hasil Riset Terbaik. Bank Indonesia

0 komentar: