STRUKTUR IDEAL SISTEM KEUANGAN ISLAM DALAM PANDANGAN M. UMER CHAPRA DAN ABDUL HALIM ISMAIL (Komparasi antar dua sistem)
Oleh: M. Fathi Rabbani
Pendahuluan
Ekonomi
Islam bertujuan mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan
memaksilkan kesejahteraan manusia (falah). Falah berarti terpenuhinya kebutuhan individu
masyarakat dengan tidak mengabaikan keseimbangan kepentingan sosial,
keseimbangan, ekologi dan tetap memperhatikan nilai-nilai keluarga dan
norma-norma dalam masyarakat[1].
Sebagai konsekuensinya, diperlukan sejumlah etika pokok dalam ekonomi sehingga falah
itu terwujud. Etika-etika tersebut adalah : Kesatuan(Tauhid),
Keseimbangan/kesejajajran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will),
dan Tanggung Jawab (Resposibility[2]).
Sistem Keuangan Islam diharapkan
mampu menjadi alternatif terbaik dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Penghapusan prinsip bunga dalam sistem keuangan islam memilik dampak makr yang
cukup signifikan, karena bukan hanya prinsip investasi langsung saja yang harus
bebas dari bunga, namun prinsip investasi tak langsung juga harus bebas dari
bunga. Perbankan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary),
namun juga sebagai industri penyedia
jasa keuangan (financial industry) dan instrumen kebijakan moneter yang
utama[3].
Sistem Keuangan Islam, dengan
prinsip bagi hasil sebagai pengganti prinsip bunga , menempatkan perbankan
tidak hanya sebagai lembaga intermediasi keuangan, tetapi lebih pada lembaga
intermediasi investasi (investment intermediary). Hal ini disebabkan
karena hubungan antara Bank Islam dengan nasabah lebih dominan pada huungan
pemodal-pengusaha atau modal ventura daripada kreditur-debitur. Oleh karenanya,
sistem keuangan Islam yang ideal akan ditandai oleh sinergi antara sektor
keuangan dan sektor riil. Melemahnya produktivitas sektor riil akan secara
langsung dirasakan pula oleh sektor keuangan karena bagi hasil yang akan
diterima oleh perbankan akan menurun. Begitu juga, bagi hasil yang akan
diberikan oleh perbankan Islam kepada pemodal juga akan menurun.
Sebaliknya, jika sektor riil
mengalami peningkatan produksi, maka dampaknya akan langsung dirasakan oleh
sektor keuangan. Dengan demikian, jika sistem bagi hasil ini dapat berjalan
dengan efisien, maka pertumbuhan ekonomi semu tidak akan terjadi dan investasi
akan menuju pada proyek-proyek yang profitable. Tenunya hal ini akan terwujud
jika sistem ekonomi didukung oleh budaya masyarakat dan sisem legal serta
administrasi yang sesuai dengan syari’ah islam.
Sistem Keuangan
Islam
Sebelum
kita membahas teori uncertainity dalam keuangan Islam, akan kita bahas
lebih dulu secara singkat sebagai pengantar sistem keuangan dalam Islam.
Keuangan Islam adalah sebuah
sistem yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta dari penafsiran para
ulama terhadap usmber-sumber wahyu tersebut. Dalam berbagai bentuknya ,
struktur keuangan islam telah tampil sebagai salah satu implementasi modern dari
sistem hukum Islam yang paling penting dan berhasil, dan sebagai ujicoba bagi
pembaruan dan perkembangan hukum Islam pada masa mendatang.
Meskipun demikian, keuangan
Islam tetap menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang Islam sendir maupun
non-Muslim. Misalny, umum diketahui bahwa keuangan Islam melarag pengenaan
bunga terhadap dana pinjaman, namun hukum Islam sebenarnya tidak menolak
gagasan tentang nilai waktu dalam uang (time value of money) .[4]
Sebagai contoh, jika uang
dipercayakan kepada pihak lain untuk digunakan selama jangka waktu tertentu,
maka besarnya imbalan atas pembiayaan tersebut tidak boleh ditetapkan dimuka
berdasrkan persetujuan pihak lain terhadap kontrak tersebut. Sebagai gantinya
imbalan tersebut haruslah merupakan bagi hasil dari keuntungan riil usaha
tersebut. Uang tidak diperlakukan sebagai komoditas, sebagaimana di ekonomi
konvensional, namun uang sebagai pembawa resiko sehingga tunduk pada
ketidakpastian yang sama dengan ketidakpastian yang dihadapi oleh mitra lain
dari usaha tersebut.
Dengan mempertimbangkan
cara-cara perolehan imbalan yang sah atas pembiayaan di atas, istilah
keuntungan perbankan (profit banking) merupakan cara yang sangat
membantu untuk menjelaskan sistem perluasan kredit dalam dunia Islam.
Aturan-aturan Islam memperbolehkan kegiatan bisnis untuk memanfaatkan kredit
dan tidak menetapkan bahwa semua kegiatan isnis harus dibiayai sepenuhnya
dengan modal sendiri.[5]
Sistem keuangan Islam bertujuan
untuk memberikan jasa keuangan yang halal kepada komunitas muslim, disamping
itu juga diharapkan mampu memberikan kontribusi yang layak bagi tercapanya
tujuan sosio-ekonomi Islam. Target utamanya adalah kesejahteraan ekonomi,
perluasan kesempatan kerja tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keadilan sosio-ekonomi dan
distribusi pendapatan, kekayaan yang wajar, stabilitas nilai uang, dan
mobilisasi serta investasi tabungan untuk pembangunan ekonomi yang mampu
memberikan jaminan keuntungan (bagi hasil) kepada semua pihak yang terlibat.[6]
Tampaknya, dimensi religius harus
dikemukakan sebagai tujuan terakhir, dalam arti bahwa peluang melakukan operasi
keuangan yang halal jauh lebih penting dibanding model operasi keuangan itu
sendiri. Validitas tujuan-tujuan umum ini jarang dipersoalkan, namun tak pernah
ada kesepakatan tentang struktur ideal sistem keuangan yang diperlukan untuk
mencapai semua tujuan tersebut.[7]
Dari perspektif Islam, tujuan
utama perbankan dan keuangan Islam dapat disimpulkan sebagai berikut.[8]:
a. Pengahpusan bunga dari semua transaksi keuangan
dan pembaruan semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
b. Distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar.
c. Kemajuan dalam bidang pembangunan ekonomi.
Struktur Ideal
Sistem Keuangan Islam
Literatur
Ekonomi Islam mengungkapkan dua model sistem keuangan yang Islami. Salah
satunya yang dijalankan oleh M. Umer Chapra (1985) dan M. Nejatullah Shiddiqi
(1983), sedangkan yan kedua dikemukakan oleh Abdul halim Ismail (1986). Mereka
berbeda pendapat mengenai prilaku apa yang mestinya ditunjukkan oleh institusi
model masing-masing.[9]
Chapra mengajukan sebuah sistem
yang meliputi beberapa institusi berikut: bank sentral, bank komersial, lembaga
keuagan non-bank, lembaga kredit khusus, korporasi asuransi deposito dan
korporasi audit investasi. Sekilas, struktur ini tidak ada bedanya dengan
struktur sistem keuangan konvensional. Namun Chapra melihat ada beberapa
perbedaan dalam fungsi, ruang lingkup, dan tanggung jawa setiap institusi.
Tiap-tiap institusi dianggap sebagai komponen penting dari suatu sistem
integral yang diperlukan untuk mencapai tujuantujuan yang diinginkan.[10]
Ciri utama model keuanga Isla
yang dikemukakan Chapra adalah penyebaran tanggung jawab kesejahteraan sosial
dan kepentingan agama ke seluruh komponen sistem keuangan, dari mulai bank
sentral sampai fungsi obyektif agen-agen keuangan Islam. Penulis lain yang
mengajukan kerangka alternatif bagi sistem keuangan Islam adalah Abdul Halim
Ismail (1986), yang mengusulkan pembagian tanggung jawab yang lebih cermat. Ia
membuat sketsa sistem Ekonomi Islam yang terdir dari tiga sektor: yaitu sektor
politik (pemerintah), yang meliputi dana publik dan bank sentral, sektor sosial
yang bertanggung jawab atas administras pajak, dan sektor komersial yang
meliputi semua aktivitas komersial swasta. Setiap sektor memilik beragam bentuk
lembaga, yang semuanya bekerja mengikuti prinsip umum syari’ah dalam
operasi-operasi tertentu. Sistem keuangan Islam menopang lembaga-lembaga dalam
ketiga sektor tersebut.
Menurut sketsa Ismail , bankbank
komersial Islam jelas terasuk dalam sektor komersial, tanggung jawab mereka
dengan demikian terbatas pada aktivitas-aktivitas komersial. Mereka tidk
dibebani tugas untuk menjamin distribusi pendapatan yang wajar , karena hal itu
merupakan tugas pemerintah. Demikian juga pengumpulan dan pajak bukan menjadi
tugas bank komersial, melainkan menjadi tanggung jawab lembaga sosial.
Dengan demikian kita melihat ada
perbedaan penting antara kedua model tersebut. Menurut chapra tiap-tiap lembaga
dalam sistem ekonomi Islam bertanggung jawab memenuhi tujuan-tujuan ekonomi dan
sosial secara umum, kadang-kadang dengan mengorbankan profitabilitas individu.
Konsekuensinya, sistem keuangan Islam lebih memilih proyek-proyek yang secara
sosial menguntungkan, meskipun tidak demikian secara ekonomi.
Sebaliknya, menurut model
Ismail, bank-bank Islam adalah lembaga komersial yang bertanggung jawab
terutama kepada par pemegang saham dan deposan, mereka melayani masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, memperbesar laba dan pendapatan, serta
distribusi zakat. Akibat yang mungkin muncul dari perbedaan kedua pendekatan
ini adalah bahwa setiap bank dalam masing-masing model akan menetapkan cara
operasi yang berbeda satu sama lain. Meskipun perangkat operasi dan praktik
pendanaan yang sah itu merupakan hal yang lazim untuk kedua keadaan dan berlaku
bagi semua lembaga Islam, beberapa aktivitas bisa jadi lebih disukai daripada
aktivitas lainnya, tergantung pada tujuannya. Karena itu, penelitian tentang
kerja yang sesungguhnya dari praktik Bank Islam harus dikaji seraya
memperhatikan perbedaan-perbedaan tersebut.
Kesimpulan
Dalam hukum syari’ah, ada dua
macam kaidah, yaitu dalam ibadah dan muamalah. Dalam ibadah, kaidah hukum yang
berlaku adalah semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya dalam
Al-Qur’an atau Sunnah. Sedangkan dalam muamalah, semua hal diperbolehkan
kecuali ada dalil yang melarangnya. Hal ini berarti, ketika ada suatu transaksi
baru yang muncul, dan belum dikenal sebelumnya dalam rukun islam, maka
transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali bila terdapat implikasi
dari Al-Qur’an dan sunnah yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun
implisit.
Dengan demikian untuk
mengidentifikasi transaksi yang dilarang oleh islam, dapat dikelompokkan
menjadi 3 faktor sebagai berikut :
1. Haram dzat atau barangnya (Haraam lidzatihi),
meliputi :
·
Babi
·
Minuman keras
·
Bangkai
·
Darah
2. Haram selain dzatnya (haraam lighoirihi),
mencakup :
·
Tadlis
·
Taghrir (Gharar)
·
Ihtikar
(monopoli)
·
Bai’ najasi
·
Riba
·
Maysir
·
Risywah (suap
menyuap)
3. Tidak sah (lengkap) akadnya, mencakup :
·
Rukun dan
syaratnya tidak terpenuhi
·
Terjadi
ta’alluqatau ketergantungan suatu akad dengan akad yang lain
·
Terjadi two
in one
Daftar
Pustaka
Chapra, M.
Umar Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah tinjauan Islam, (Jakarta : Gema
Insani Press)
Naqvi Syed
Nawab Hader, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2003)
Sudarsono
Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi,
Edisi II (Yoguyakarta: Ekonisia, 2003)
Vogel Frank
E. dan Hayes Samuel L., III, Hukum Keuangan Islam: Konsep, teori dan
praktik, Cetakan 1 (Bandung: Nusamedia, juli 2007).
Chapra M
Umer, Sistem Moneter Islam, Cetakan Pertama (Jakarta: Gema insani Press, 2000)
Lewis Mervyn
K. dan Lagoud Latifa M., Perbankan Syari’ah. Prinsip, praktik dan
prospek (Jakarta: Serambi Ilmu
semesta 2007)
M. Umer
Chapra, Sistem Moneter Islam,
[1] M. Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah tinjauan Islam, (Jakarta
: Gema Insani Press) hal:100
[2] Syed Nawab Hader Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2003) hal: 37
[3] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi
dan Ilustrasi, Edisi II
(Yoguyakarta: Ekonisia, 2003) hal; 5
[4] Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam:
Konsep, teori dan praktik, Cetakan 1 (Bandung: Nusamedia, juli 2007).
[5] Ibid hal: 14
[6] M Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Cetakan Pertama (Jakarta: Gema insani Press, 2000) hal: 2
[7] Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Lagoud, Perbankan Syari’ah. Prinsip,
praktik dan prospek (Jakarta:
Serambi Ilmu semesta 2007)
[8] Ibid, hal: 123-131
[9] Ibid, hal: 131-132
[10] M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, op.cit., hal: 101-130
0 komentar: