Lets Discuss

Come and Upgrade Our Islamic Economics with Expert Around The World! more »

Sebening Akhlak Ekonom

Akhlak adalah magnet tertinggi untuk memikat masyarakat, seperti apakah akhlak ekonom Islam? more »

Use Your Logic

Kesalahan para ekonom Islam adalah bahasa yang tinggi, lalu bagaimana seharusnya menjelaskan ekonomi Islam? more »

STRUKTUR IDEAL SISTEM KEUANGAN ISLAM DALAM PANDANGAN M. UMER CHAPRA DAN ABDUL HALIM ISMAIL (Komparasi antar dua sistem)

Diposkan oleh Unknown
 Oleh: M. Fathi Rabbani
Pendahuluan
                Ekonomi Islam bertujuan mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan memaksilkan kesejahteraan manusia (falah). Falah  berarti terpenuhinya kebutuhan individu masyarakat dengan tidak mengabaikan keseimbangan kepentingan sosial, keseimbangan, ekologi dan tetap memperhatikan nilai-nilai keluarga dan norma-norma dalam masyarakat[1]. Sebagai konsekuensinya, diperlukan sejumlah etika pokok dalam ekonomi sehingga falah itu terwujud. Etika-etika tersebut adalah : Kesatuan(Tauhid), Keseimbangan/kesejajajran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Resposibility[2]).

                Sistem Keuangan Islam diharapkan mampu menjadi alternatif terbaik dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Penghapusan prinsip bunga dalam sistem keuangan islam memilik dampak makr yang cukup signifikan, karena bukan hanya prinsip investasi langsung saja yang harus bebas dari bunga, namun prinsip investasi tak langsung juga harus bebas dari bunga. Perbankan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary), namun  juga sebagai industri penyedia jasa keuangan (financial industry) dan instrumen kebijakan moneter yang utama[3].

                Sistem Keuangan Islam, dengan prinsip bagi hasil sebagai pengganti prinsip bunga , menempatkan perbankan tidak hanya sebagai lembaga intermediasi keuangan, tetapi lebih pada lembaga intermediasi investasi (investment intermediary). Hal ini disebabkan karena hubungan antara Bank Islam dengan nasabah lebih dominan pada huungan pemodal-pengusaha atau modal ventura daripada kreditur-debitur. Oleh karenanya, sistem keuangan Islam yang ideal akan ditandai oleh sinergi antara sektor keuangan dan sektor riil. Melemahnya produktivitas sektor riil akan secara langsung dirasakan pula oleh sektor keuangan karena bagi hasil yang akan diterima oleh perbankan akan menurun. Begitu juga, bagi hasil yang akan diberikan oleh perbankan Islam kepada pemodal juga akan menurun.

                Sebaliknya, jika sektor riil mengalami peningkatan produksi, maka dampaknya akan langsung dirasakan oleh sektor keuangan. Dengan demikian, jika sistem bagi hasil ini dapat berjalan dengan efisien, maka pertumbuhan ekonomi semu tidak akan terjadi dan investasi akan menuju pada proyek-proyek yang profitable. Tenunya hal ini akan terwujud jika sistem ekonomi didukung oleh budaya masyarakat dan sisem legal serta administrasi yang sesuai dengan syari’ah islam.

Sistem Keuangan Islam
                Sebelum kita membahas teori uncertainity dalam keuangan Islam, akan kita bahas lebih dulu secara singkat sebagai pengantar sistem keuangan dalam Islam.

                Keuangan Islam adalah sebuah sistem yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta dari penafsiran para ulama terhadap usmber-sumber wahyu tersebut. Dalam berbagai bentuknya , struktur keuangan islam telah tampil sebagai salah satu implementasi modern dari sistem hukum Islam yang paling penting dan berhasil, dan sebagai ujicoba bagi pembaruan dan perkembangan hukum Islam pada masa mendatang.

                Meskipun demikian, keuangan Islam tetap menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang Islam sendir maupun non-Muslim. Misalny, umum diketahui bahwa keuangan Islam melarag pengenaan bunga terhadap dana pinjaman, namun hukum Islam sebenarnya tidak menolak gagasan tentang nilai waktu dalam uang (time value of money) .[4]

                Sebagai contoh, jika uang dipercayakan kepada pihak lain untuk digunakan selama jangka waktu tertentu, maka besarnya imbalan atas pembiayaan tersebut tidak boleh ditetapkan dimuka berdasrkan persetujuan pihak lain terhadap kontrak tersebut. Sebagai gantinya imbalan tersebut haruslah merupakan bagi hasil dari keuntungan riil usaha tersebut. Uang tidak diperlakukan sebagai komoditas, sebagaimana di ekonomi konvensional, namun uang sebagai pembawa resiko sehingga tunduk pada ketidakpastian yang sama dengan ketidakpastian yang dihadapi oleh mitra lain dari usaha tersebut.

                Dengan mempertimbangkan cara-cara perolehan imbalan yang sah atas pembiayaan di atas, istilah keuntungan perbankan (profit banking) merupakan cara yang sangat membantu untuk menjelaskan sistem perluasan kredit dalam dunia Islam. Aturan-aturan Islam memperbolehkan kegiatan bisnis untuk memanfaatkan kredit dan tidak menetapkan bahwa semua kegiatan isnis harus dibiayai sepenuhnya dengan modal sendiri.[5]

                Sistem keuangan Islam bertujuan untuk memberikan jasa keuangan yang halal kepada komunitas muslim, disamping itu juga diharapkan mampu memberikan kontribusi yang layak bagi tercapanya tujuan sosio-ekonomi Islam. Target utamanya adalah kesejahteraan ekonomi, perluasan kesempatan kerja tingkat pertumbuhan ekonomi  yang tinggi, keadilan sosio-ekonomi dan distribusi pendapatan, kekayaan yang wajar, stabilitas nilai uang, dan mobilisasi serta investasi tabungan untuk pembangunan ekonomi yang mampu memberikan jaminan keuntungan (bagi hasil) kepada semua pihak yang terlibat.[6]

                Tampaknya, dimensi religius harus dikemukakan sebagai tujuan terakhir, dalam arti bahwa peluang melakukan operasi keuangan yang halal jauh lebih penting dibanding model operasi keuangan itu sendiri. Validitas tujuan-tujuan umum ini jarang dipersoalkan, namun tak pernah ada kesepakatan tentang struktur ideal sistem keuangan yang diperlukan untuk mencapai semua tujuan tersebut.[7]

                Dari perspektif Islam, tujuan utama perbankan dan keuangan Islam dapat disimpulkan sebagai berikut.[8]:
a.       Pengahpusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaruan semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
b.      Distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar.
c.       Kemajuan dalam bidang pembangunan ekonomi.

Struktur Ideal Sistem Keuangan Islam
                Literatur Ekonomi Islam mengungkapkan dua model sistem keuangan yang Islami. Salah satunya yang dijalankan oleh M. Umer Chapra (1985) dan M. Nejatullah Shiddiqi (1983), sedangkan yan kedua dikemukakan oleh Abdul halim Ismail (1986). Mereka berbeda pendapat mengenai prilaku apa yang mestinya ditunjukkan oleh institusi model masing-masing.[9]

                Chapra mengajukan sebuah sistem yang meliputi beberapa institusi berikut: bank sentral, bank komersial, lembaga keuagan non-bank, lembaga kredit khusus, korporasi asuransi deposito dan korporasi audit investasi. Sekilas, struktur ini tidak ada bedanya dengan struktur sistem keuangan konvensional. Namun Chapra melihat ada beberapa perbedaan dalam fungsi, ruang lingkup, dan tanggung jawa setiap institusi. Tiap-tiap institusi dianggap sebagai komponen penting dari suatu sistem integral yang diperlukan untuk mencapai tujuantujuan yang diinginkan.[10]

                Ciri utama model keuanga Isla yang dikemukakan Chapra adalah penyebaran tanggung jawab kesejahteraan sosial dan kepentingan agama ke seluruh komponen sistem keuangan, dari mulai bank sentral sampai fungsi obyektif agen-agen keuangan Islam. Penulis lain yang mengajukan kerangka alternatif bagi sistem keuangan Islam adalah Abdul Halim Ismail (1986), yang mengusulkan pembagian tanggung jawab yang lebih cermat. Ia membuat sketsa sistem Ekonomi Islam yang terdir dari tiga sektor: yaitu sektor politik (pemerintah), yang meliputi dana publik dan bank sentral, sektor sosial yang bertanggung jawab atas administras pajak, dan sektor komersial yang meliputi semua aktivitas komersial swasta. Setiap sektor memilik beragam bentuk lembaga, yang semuanya bekerja mengikuti prinsip umum syari’ah dalam operasi-operasi tertentu. Sistem keuangan Islam menopang lembaga-lembaga dalam ketiga sektor tersebut.

                Menurut sketsa Ismail , bankbank komersial Islam jelas terasuk dalam sektor komersial, tanggung jawab mereka dengan demikian terbatas pada aktivitas-aktivitas komersial. Mereka tidk dibebani tugas untuk menjamin distribusi pendapatan yang wajar , karena hal itu merupakan tugas pemerintah. Demikian juga pengumpulan dan pajak bukan menjadi tugas bank komersial, melainkan menjadi tanggung jawab lembaga sosial.

                Dengan demikian kita melihat ada perbedaan penting antara kedua model tersebut. Menurut chapra tiap-tiap lembaga dalam sistem ekonomi Islam bertanggung jawab memenuhi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial secara umum, kadang-kadang dengan mengorbankan profitabilitas individu. Konsekuensinya, sistem keuangan Islam lebih memilih proyek-proyek yang secara sosial menguntungkan, meskipun tidak demikian secara ekonomi.

                Sebaliknya, menurut model Ismail, bank-bank Islam adalah lembaga komersial yang bertanggung jawab terutama kepada par pemegang saham dan deposan, mereka melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, memperbesar laba dan pendapatan, serta distribusi zakat. Akibat yang mungkin muncul dari perbedaan kedua pendekatan ini adalah bahwa setiap bank dalam masing-masing model akan menetapkan cara operasi yang berbeda satu sama lain. Meskipun perangkat operasi dan praktik pendanaan yang sah itu merupakan hal yang lazim untuk kedua keadaan dan berlaku bagi semua lembaga Islam, beberapa aktivitas bisa jadi lebih disukai daripada aktivitas lainnya, tergantung pada tujuannya. Karena itu, penelitian tentang kerja yang sesungguhnya dari praktik Bank Islam harus dikaji seraya memperhatikan perbedaan-perbedaan tersebut.



Kesimpulan
                Dalam hukum syari’ah, ada dua macam kaidah, yaitu dalam ibadah dan muamalah. Dalam ibadah, kaidah hukum yang berlaku adalah semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Sedangkan dalam muamalah, semua hal diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Hal ini berarti, ketika ada suatu transaksi baru yang muncul, dan belum dikenal sebelumnya dalam rukun islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali bila terdapat implikasi dari Al-Qur’an dan sunnah yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit.
                Dengan demikian untuk mengidentifikasi transaksi yang dilarang oleh islam, dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor sebagai berikut :
1.       Haram dzat atau barangnya (Haraam lidzatihi), meliputi :
·         Babi
·         Minuman keras
·         Bangkai
·         Darah
2.       Haram selain dzatnya (haraam lighoirihi), mencakup :
·         Tadlis
·         Taghrir (Gharar)
·         Ihtikar (monopoli)
·         Bai’ najasi
·         Riba
·         Maysir
·         Risywah (suap menyuap)
3.       Tidak sah (lengkap) akadnya, mencakup :
·         Rukun dan syaratnya tidak terpenuhi
·         Terjadi ta’alluqatau ketergantungan suatu akad dengan akad yang lain
·         Terjadi two in one





















Daftar Pustaka
Chapra, M. Umar Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah tinjauan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press)
Naqvi Syed Nawab Hader, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2003)
Sudarsono Heri, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi II  (Yoguyakarta: Ekonisia, 2003)
Vogel Frank E. dan Hayes Samuel L., III, Hukum Keuangan Islam: Konsep, teori dan praktik, Cetakan 1 (Bandung: Nusamedia, juli 2007).
Chapra M Umer, Sistem Moneter Islam, Cetakan Pertama  (Jakarta: Gema insani Press, 2000)
Lewis Mervyn K. dan Lagoud Latifa M., Perbankan Syari’ah. Prinsip, praktik dan prospek  (Jakarta: Serambi Ilmu semesta 2007)
M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam,




[1] M. Umar Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah tinjauan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press) hal:100
[2] Syed Nawab Hader Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2003) hal: 37  
[3] Heri Sudarsono, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, Edisi II  (Yoguyakarta: Ekonisia, 2003) hal; 5
[4] Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam: Konsep, teori dan praktik, Cetakan 1 (Bandung: Nusamedia, juli 2007).
[5] Ibid hal: 14
[6] M Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Cetakan Pertama  (Jakarta: Gema insani Press, 2000) hal: 2
[7] Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Lagoud, Perbankan Syari’ah. Prinsip, praktik dan prospek  (Jakarta: Serambi Ilmu semesta 2007)
[8] Ibid, hal: 123-131
[9] Ibid, hal: 131-132
[10] M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, op.cit., hal: 101-130
more »

Reminder Iuran KSEI

Diposkan oleh Unknown

Berdasarkan:

Anggaran Rumah Tangga 
Forum Silaturrahim Studi Ekonomi Islam

Pasal 5
Kewajiban Anggota
Setiap anggota FoSSEI berkewajiban:
1.       Menjunjung tinggi dan menjaga nama baik FoSSEI
2.       Mendukung tercapainya visi, misi dan tujuan FoSSEI
3.       Melaksanakan aturan dan keputusan yang ada di dalam FoSSEI
4.       Mencantumkan logo FoSSEI di setiap kegiatan.
5.       Membayar iuran tahunan

Maka,



Info Lebih Lanjut:
Presidium Nasional 3 : 08573291880 (Alfian)
Bendahara Nasional   : 085728782828 (Maftuh)

Untuk Mengunduh Surat dalam bentuk PDF, klik disini
Apabila masih bingung dengan terkait iuran FoSSEI, mohon untuk sms ke Bendahara FoSSEI Regional Jawa Timur 085749706642 (Inna)
more »

Menyelami Pendapat Hari Ibu

Diposkan oleh Unknown

Allah Ta’ala berfirman

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).

Perintah berbakti di sini bukan hanya berlaku pada bulan Desember saja, namun setiap waktu.

Suatu budaya asing dan bersifat global memang terkadang membawa isu positif atau malah negative. Seperti halnya perayaan hari besar, atau ucapan. Pada dasarnya memang ada hal-hal yang tidak dapat ditoleransi oleh agama Islam. Ada juga yang muncul pro-kontra dalam hal ini. Dari beberapa sumber di internet mengatakan bahwa sebab larangan memperingati hari ibu bagi Muslim adalah haram. Mereka memiliki dasar sebagai berikut:

1- Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir

Peringatan hari ibu bukanlah perayaan umat Islam. Islam tidak pernah mengajarkannya sama sekali. Yang ada, perayaan tersebut diperingati hanya meniru-niru orang kafir. Islam hanya memiliki dua hari besar. Anas bin Malik mengatakan,

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’” (HR. An Nasa’i no. 1557. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.“(HR. Abu Daud no. 4031. Hadits ini hasan shahih kata Syaikh Al Albani).

Ada hadits juga dalam kitab Sunan,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلاَ بِالنَّصَارَى
“Bukan termasuk golongan kami yaitu siapa saja yang menyerupai (meniru-niru) kelakukan selain kami. Janganlah kalian meniru-niru Yahudi, begitu pula Nashrani.” (HR. Tirmidzi no. 2695, hasan menurut Syaikh Al Albani).

2- Tidak pernah dituntunkan dalam ajaran Islam

Perayaan tersebut adalah perayaan yang mengada-ngada, tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Cukuplah mereka sebagai sebaik baik petunjuk.

3- Fatwa Ulama Saudi
Hari ibu biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, berikut fatwa Al-Lajnah Ad- Daimah (semacam MUI di Saudi) mengenai hal ini. Al Lajnah Ad Daimah ditanya, “kapan tanggal yang tepat untuk memperingati hari ibu?”

Mereka menjawab:
“Tidak boleh mengadakan peringatan yang dinamakan dengan peringatan hari ibu, dan tidak boleh juga memperingati perayaan peringatan tahunan yang dibuat-buat (tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan As-sunnah, karena perayaan (ied) tahunan yang diperbolehkan dalam Islam hanya Idul Fitri dan Idul Adha.

Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam bersabda,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan itu tertolak”

Adapun pendapat yang memperbolehkan ucapan hari ibu adalah sebagai berikut:
Syeikh DR. Yusuf Qaradawi dan DR. Muhammad al-Banna berpendapat: Tidak ada larangan untuk menyambut Hari Ibu, tetapi dengan beberapa syarat: 

1. Sambutan itu hanyalah "penghormatan tambahan" yg sudah dilakukan sehari-hari yg diberikan untuk ibu. 

2. Sambutan itu tidaklah dianggap sebagai suatu perayaan dalam arti menyamai Idul Fitri dan Idul Adha, yg ada dasarnya yg jelas dalam Syari'ah. 

3. Tidak berlaku di dalamnya perkara-perkara yg diharamkan oleh Syari'ah seperti pergaulan bebas diantara lelaki dan perempuan. 

4. Tidak dimaksudkan untuk menyerupai orang-orang yg bukan Islam. 

5. Hendaklah kandungan perayaan itu diteruskan sepanjang tahun dan tidak terbatas pada hari tersebut saja. 

DR. Muhammad Bakar Ismail, Professor Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Quran di Universitas Al-Azhar, memberikan pandangan: 

"Hari ini, dimana ibu dimuliakan dan dinamakan dengan Hari Ibu adalah bid’ah dalam perkara adat dan bukan dalam perkara ibadah. Bid’ah dalam adat tidak diperintah oleh Islam dan tidak juga dilarang, kecuali ia menghubungkan dgn suatu agama. Jika adat ini lahir untuk menyeru kepada berlaku baik dan ihsan kepada orang yg berhak mendapat kebaikan seperti kepada ibu, bapak, kakek dan nenek, maka Islam membolehkan dan mengakui adat seperti ini. Jika adat ini lahir dari perkara yg sebaliknya, dan melakukannya juga melibatkan perkara2 yg buruk dan dilarang oleh Islam seperti pemborosan, kelalaian, berbangga2, bercampurnya laki dan wanita yg bukan mahram, maka Islam melarangnya".

DR. ‘Abdul Fattah Asyur, seorang lagi ulama’ Al-Azhar, memberikan pendapat: 

"Merayakan beberapa hari yg padanya dimuliakan manusia atau menghidupkan ingatan2 yg baik, maka tidak seorang pun mengatakan bahwa ini adalah perayaan agama atau sebagian dari perayaan2 Muslimin. Tetapi ia adalah peluang untuk menunjukkan syi'ar perasaan yg baik terhadap orang2 yg berbudi kepada kita dan diantaranya ialah apa yg dikenal sebagai Hari Ibu. Sesungguhnya bagi ibu kedudukan yg khusus dalam Islam dan juga dalam setiap agama lain. Maka ibu wajib dimuliakan dan dirayakan".

Pada setiap negara, peringatan hari ibu berbeda-beda, di Indonesia diperingati setiap tanggal 22 Desember. Anda dapat membaca dari banyak literatur sejarah penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Ibu. 

Bagi seseorang yang ingin menjaga agama dan kehormatan maka hendaknya menghindari untuk mengucapkan selamat hari ibu. Hal ini karena termasuk dalam perkara yang syubhat. Dimana sebenarnya yang halal sudah jelas sedangkan yang haram telah jelas pula. Berikut adalah hadistnya:

An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)

Ketika seseorang menjalankan hadist ini terkadang menjadi masalah bagi dirinya sendiri. Tentu perlu diketahui juga budaya masyaraka sekitar. Apabila masyarakat sekitarnya memiliki pluralitas yang tinggi hal ini menjadi suatu masalah. Oleh karena itu perlu adanya dakwah yang lebih inklusif dan merangkul sehingga mampu menciptakan masyarakat Islam yang kaffah.

Wallaahu a'lam...



Penulis: Khoirul Zadid Taqwa (Koordinator FoSSEI Jatim 2014-2015)
more »

Pluralitas Ekonomi dan Small Area

Diposkan oleh Unknown

Oleh : Achmad Afif Hajid Nasrullah

Kalau kita belajar sejarah pemikiran ekonomi, terutama yang dimulai pada abad setelah 17 M, awal dari pemikiran ekonomi yang berkembang adalah merkantilisme. Orientasi dalam mengumpulkan harta emas sebanyak-banyaknya terakomodasi pada era itu. Lantas bergulir setelahnya bumbu pelengkap merkantilisme, yakni feodalisme. Elan para feodalis pun terangkat seiring dengan maraknya isme fasis yang digemakan oleh Adolf Hitler dan Benito Musollini yang konon masing-masing berkebangsaan Jerman dan Italia. Keserakahan jelas nampak pada masa-masa itu. Ujungnya adalah ketidakadilan yang terejawantah, dimana proses di dalamnya diwarnai dengan peperangan yang terjadi antar negara di dunia. Masyarakat pun terdampak. Ketimpangan sosial dan ekonomi pun tidak terelakkan.

Seiring berjalannya peradilan mahkamah histori, paham-paham di atas tersebut pudar pada waktunya dan perlahan naik daunlah pemikiran ekonomi klasik. Adam Smith dengan magnum opusnya “The Wealth of Nations” yang positif terinfluence dari kitab karya Abu Yusuf “Al-Amwal” membalik peta pemikiran ekonomi dunia menjadi lebih dinamis. Disinyalir oleh kebanyakan orang, berasal dari “The Wealth if Nations”-lah embrio kapitalisme (yang menghegemoni lewat mekanisme pasar bebasnya) lahir di peradaban bumi manusia (bahasa jawanya manusia, manungsa, dan menurut sebagian pendapat berasal dari suku kata manunggaling = kebersatuan, dan rasa=rasa).

Unsur Etis Ekonomi

Padahal, klaim dari bukti sejarah yang tak terkespos secara masif menyebutkan, sebelum “The Wealth of Nations” terbit, Adam Smith menulis mula-mula buku yang membahas perihal etika dalam ekonomi. Hanya eksemplar tersebut kurang beroleh perhatian sebab aspek etika yang tertera di dalamnya dipengaruhi oleh paham gereja (kristiani), dan kala itu antara pihak gereja dan ilmuwan tengah terjerumus pada lingkaran konflik yang kerap membawa petaka pada sebagian besar umat.

Dialektisasi para tokoh, tak hanya ekonomi, kala itu tentang epistemologi, etika, filsafat, dan keilmuan lantas memunculkan mazhab baru dalam pemikiran ekonomi, yakni neo-klasik. Ketidakpuasan beberapa orang akan kekurangan-kekurangan yang dirasakan dari mazhab neo-klasik kemudian memunculkan paham keynesian (J.M. Keynes sebagai pemikir utamanya) dan lain-lain (Austria, Cambridge). Dalam pada itu, pula lahir gagasan pemikiran ekonomi sebagai antitesis dari kapitalisme yang dituduh oleh kaum sosialis sebaga bromocorah keterpurukan kelas sosial bawah (kaum buruh). Digawangi oleh Karl Marx, gerakan ini diistilahkan dengan sebutan sosialisme/marxisme. Namun cita-cita dari sosialisme itu kalah populer dan dituding utopis semata oleh kaum kapitalis (meski beberapa negara sebut saja Uni Soviet dan Cina sempat menerapkannya, namun kenyataannya tak bertaha lama. Kini tinggal Korea Utara yang menerapkan sistem tersebut, kita lihat saja nanti seberapa lama kondisi demikian dapat bertahan). Sehingga sampai pada hari ini, paham kapitalisme-lah yang cenderung lebih digandrungi oleh kebanyakan warga dunia.

Multi-Perspektif Ekonomi (dan Islam)

Ekonomi Islam marak diperbincangkan lagi saat menyentuh medio 60-70an di Timur Tengah. Merembet kemudian ke daratan Asia, termasuk Indonesia. Momentum keterlembagaannya ekonomi Islam adalah ketika Bank Muamalat terbentuk pada 90an, tepatnya di tahun 1992. Hingga 2014 kini ekonomi Islam masih eksis dan berjuang di tengah pusaran arus kapitalisme dunia.
Melihat situasi Indonesia yang kini tengah terombang-ambing dalam masalah-masalah perekonomian, beberapa orang maupun kelompok masing-masing saling menawarkan solusi demi perbaikan Indonesia. Kesejahteraan diklaim akan mewujud dengan syarat mesti mengikuti apa yang oleh masing-masing pihak tersebut berikan. Maka sekarang ini, di Indonesia, secara garis besar ada kelompok-kelompok pengusung pemikiran (maupun sistem) ekonomi yang terbagi menjadi 4 macam yakni: kelompok mainstream pendukung kapitalisme (liberalisme, globalisme, dan segala macam turunannya); kelompok pendukung ekonomi kerakyatan atau Pancasila; kelompok pendukung ekonomi Islam; serta segeli
more »

CSR dalam Islam

Diposkan oleh Unknown


Corporate Social Responsibility dalam Bisnis Islam
 by : Rina Susanti (Bendahara FoSSEIJATIM)

Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggungjawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan.  Hal ini didukung pendapat The International Organization of Employers (IOE) yang mendefinisikan CSR sebagai indikator perusahaan yang bersifat sukarela dan melampaui kewajiban hukum terhadap peraturan perundang–undangan negara. The World Bussiness Counsil for Sustainable Development mengatakan bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya (Kalangit dalam Siswoyo, 2012). Adanya konsep CSR ini merubah wajah dunia bisnis yang awalnya hanya bersifat profit-oriented menjadai suatu lembaga yang memiliki etika dan tanggungjawab terhadap sosial dan lingkungan. 

more »