Menyelami Pendapat Hari Ibu
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).
Perintah berbakti di sini bukan hanya berlaku pada bulan
Desember saja, namun setiap waktu.
Suatu budaya asing dan bersifat global memang terkadang membawa
isu positif atau malah negative. Seperti halnya perayaan hari besar, atau
ucapan. Pada dasarnya memang ada hal-hal yang tidak dapat ditoleransi oleh
agama Islam. Ada juga yang muncul pro-kontra dalam hal ini. Dari beberapa
sumber di internet mengatakan bahwa sebab larangan memperingati hari ibu bagi
Muslim adalah haram. Mereka memiliki dasar sebagai berikut:
1- Tasyabbuh (menyerupai) orang kafir
Peringatan hari ibu bukanlah perayaan umat Islam. Islam tidak
pernah mengajarkannya sama sekali. Yang ada, perayaan tersebut diperingati
hanya meniru-niru orang kafir. Islam hanya memiliki dua hari besar. Anas bin
Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ
سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ
اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan
Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian
memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah
menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan
Idul Adha.’” (HR. An Nasa’i no. 1557. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian
dari mereka.“(HR. Abu Daud no. 4031. Hadits ini hasan shahih kata Syaikh Al
Albani).
Ada hadits juga dalam kitab Sunan,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلاَ بِالنَّصَارَى
“Bukan termasuk golongan kami yaitu siapa saja yang menyerupai
(meniru-niru) kelakukan selain kami. Janganlah kalian meniru-niru Yahudi,
begitu pula Nashrani.” (HR. Tirmidzi no. 2695, hasan menurut Syaikh Al Albani).
2- Tidak pernah dituntunkan dalam ajaran Islam
Perayaan tersebut adalah perayaan yang mengada-ngada, tidak
pernah dituntunkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Cukuplah mereka sebagai
sebaik baik petunjuk.
3- Fatwa Ulama Saudi
Hari ibu biasanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, berikut
fatwa Al-Lajnah Ad- Daimah (semacam MUI di Saudi) mengenai hal ini. Al Lajnah
Ad Daimah ditanya, “kapan tanggal yang tepat untuk memperingati hari ibu?”
Mereka menjawab:
“Tidak boleh mengadakan peringatan yang dinamakan dengan
peringatan hari ibu, dan tidak boleh juga memperingati perayaan peringatan
tahunan yang dibuat-buat (tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan As-sunnah,
karena perayaan (ied) tahunan yang diperbolehkan dalam Islam hanya Idul Fitri
dan Idul Adha.
Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam bersabda,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak pernah kami
tuntunkan, maka amalan itu tertolak”
Adapun pendapat yang memperbolehkan ucapan hari ibu adalah
sebagai berikut:
Syeikh DR. Yusuf Qaradawi dan DR. Muhammad al-Banna berpendapat:
Tidak ada larangan untuk menyambut Hari Ibu, tetapi dengan beberapa
syarat:
1. Sambutan itu hanyalah "penghormatan tambahan" yg
sudah dilakukan sehari-hari yg diberikan untuk ibu.
2. Sambutan itu tidaklah dianggap sebagai suatu perayaan dalam
arti menyamai Idul Fitri dan Idul Adha, yg ada dasarnya yg jelas dalam
Syari'ah.
3. Tidak berlaku di dalamnya perkara-perkara yg diharamkan oleh
Syari'ah seperti pergaulan bebas diantara lelaki dan perempuan.
4. Tidak dimaksudkan untuk menyerupai orang-orang yg bukan
Islam.
5. Hendaklah kandungan perayaan itu diteruskan sepanjang tahun
dan tidak terbatas pada hari tersebut saja.
DR. Muhammad Bakar Ismail, Professor Tafsir dan Ilmu-ilmu
al-Quran di Universitas Al-Azhar, memberikan pandangan:
"Hari ini, dimana ibu dimuliakan dan dinamakan dengan Hari
Ibu adalah bid’ah dalam perkara adat dan bukan dalam perkara ibadah. Bid’ah
dalam adat tidak diperintah oleh Islam dan tidak juga dilarang, kecuali ia
menghubungkan dgn suatu agama. Jika adat ini lahir untuk menyeru kepada berlaku
baik dan ihsan kepada orang yg berhak mendapat kebaikan seperti kepada ibu,
bapak, kakek dan nenek, maka Islam membolehkan dan mengakui adat seperti ini.
Jika adat ini lahir dari perkara yg sebaliknya, dan melakukannya juga
melibatkan perkara2 yg buruk dan dilarang oleh Islam seperti pemborosan,
kelalaian, berbangga2, bercampurnya laki dan wanita yg bukan mahram, maka Islam
melarangnya".
DR. ‘Abdul Fattah Asyur, seorang lagi ulama’ Al-Azhar,
memberikan pendapat:
"Merayakan beberapa hari yg padanya dimuliakan manusia atau
menghidupkan ingatan2 yg baik, maka tidak seorang pun mengatakan bahwa ini
adalah perayaan agama atau sebagian dari perayaan2 Muslimin. Tetapi ia adalah
peluang untuk menunjukkan syi'ar perasaan yg baik terhadap orang2 yg berbudi
kepada kita dan diantaranya ialah apa yg dikenal sebagai Hari Ibu. Sesungguhnya
bagi ibu kedudukan yg khusus dalam Islam dan juga dalam setiap agama lain. Maka
ibu wajib dimuliakan dan dirayakan".
Pada setiap negara, peringatan hari ibu berbeda-beda, di
Indonesia diperingati setiap tanggal 22 Desember. Anda dapat membaca dari
banyak literatur sejarah penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Ibu.
Bagi seseorang yang ingin menjaga agama dan kehormatan maka
hendaknya menghindari untuk mengucapkan selamat hari ibu. Hal ini karena termasuk
dalam perkara yang syubhat. Dimana sebenarnya yang halal sudah jelas sedangkan
yang haram telah jelas pula. Berikut adalah hadistnya:
An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah
saw. bersabda, 'Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara
keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat / samar, tidak jelas halal-haramnya),
yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal
musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan,
barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di
sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah
bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah
larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam
tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik;
dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak.
Ketahuilah, dia itu adalah hati.'" (HR. Bukhori)
Ketika seseorang menjalankan hadist ini terkadang menjadi masalah
bagi dirinya sendiri. Tentu perlu diketahui juga budaya masyaraka sekitar.
Apabila masyarakat sekitarnya memiliki pluralitas yang tinggi hal ini menjadi
suatu masalah. Oleh karena itu perlu adanya dakwah yang lebih inklusif dan merangkul sehingga mampu menciptakan masyarakat Islam yang kaffah.
Wallaahu a'lam...
Penulis: Khoirul Zadid Taqwa (Koordinator FoSSEI Jatim 2014-2015)
0 komentar: